Diam Penuh Tanya (Juara 2 Lomba Literasi SDIT Permata Bunda Tshun 2021)
Diam Penuh Tanya (Rachma Yulia Navitri, S.Pd.)
Pagi ini, sang surya belum juga menampakkan sinarnya. Sudah kusiapkan segala tekad dan semangatku untuk berjumpa dengan wajah-wajah permata yang baru. Setelah sekian lama aku tidak menapakkan kaki di sebuah gedung sekolah yang penuh dengan harapan, cita-cita, kenyamanan hati maupun pikiran dan kedamaian rohani yang dirasa. Ya, hari itu sekitar tanggal 15 Maret 2021. Hari pertama Pembelajaran Tatap Muka atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah PTM sejak adanya pandemi. Hari yang menyenangkan bagi para permata bisa kembali belajar dan bermain bersama teman, meskipun terbatas dan harus terikat oleh beberapa aturan.
Langkah kaki ku mulai memasuki sekolah menuju sebuah ruangan yang berada tidak jauh dari pintu gerbang utama. Kumasuki ruangan dengan penuh semangat, tenang dan tak sabar ingin segera menyapa para permata yang sudah datang lebih awal dariku. Penuh harap, penuh asa kulangkahkan kaki satu persatu memasuki ruangan itu. Setelah memasukinya…. Ah lupa, ini masih pandemi. Hingga yang tampak adalah pancaran sinar dari kedua mata mereka yang penuh dengan tanda tanya siapa kiranya yang menjadi guru mereka saat itu. Memasuki waktu pembelajaran, kucoba memperkenalkan diri dan mengenali satu persatu dari mereka. Hari itu permata kelompok 1 yang hadir. Mencoba menghafalkan tanpa melihat wajah mereka rasanya cukup sulit. Hari pertama pembelajaran berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan. Alhamdulillah… tak sabar menanti hari esok, batinku dengan penuh harap.
Selasa, 16 Maret 2021. Rasa hati masih seperti hari pertama. Perasaan campur aduk yang menyelimuti akan bertemu dengan permata yang lain dari kelompok 2. Sesampainya di ruang kelas kudapati beberapa permata sudah sampai lebih dahulu dariku. Inilah salah satu bukti betapa merindunya mereka dengan suasana di sekolah, bermain bersama teman, berseragam dan mengikuti setiap pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Waktu terus berjalan hingga pembelajaran pun dimulai, seperti halnya hari pertama dengan kelompok 1, aku pun memperkenalkan diri kepada mereka begitu sebaliknya. Kuberikan pembelajaran hari itu, dan kuberi penugasan kepada mereka. Kuamati satu persatu raut wajah mereka yang sedang mengerjakan. Saat kedua bola mata ini tertuju pada seorang anak laki-laki, akupun terdiam. Mencoba mengamati dengan seksama raut wajahnya, gerak geriknya yang sepertinya sedang kebingungan. Kucoba mendekatinya, bertanya apa kendalanya dia hanya terdiam. Satu kata pun tidak keluar dari mulutnya yang tertutup masker itu.
Sesaat setelah mendekati seorang anak laki-laki itu yang tanpa jawaban kucoba untuk kembali duduk. Beberapa anak mulai mendekatiku dan bertanya letak kesulitan mereka. Kucoba tanyakan kepada salah seorang anak tentang anak yang tadi diam. Ternyata, dia adalah anak pindahan di kelas itu. Mereka pun hanya mengetahui namanya saja tanpa pernah berbicara dengannya. Waktu pembiasaan islami pun tiba, permata berhamburan keluar kelas untuk mencuci tangannya kemudian menyantap bekal yang sudah dibawakan oleh ayah ataupun bunda. 14 dari 15 anak sudah ijin keluar untuk mencuci tangan, yang kemudian dilanjutkan membuka kotak makan mereka. Salah satu anak pendiam tadi masih duduk tenang tanpa bersuara dan tanpa ijin keluar untuk mencuci tangannya seperti teman lainnya. Masih terus kuamati selama pembiasaan islami ini berlangsung. 15 menit lamanya dia masih saja duduk terdiam, sorot kedua matanya seperti sedang kebingungan dan rasa was-was. Kudekati lagi dan kutanya apa bekal yang dia bawa. Dia hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya seperti tanda dia tak membawa bekal, namun membawa minum.
Hari itu berbeda dengan hari sebelumnya, di hari pertama tak kudapatkan suasana seperti ini. Semua anak sibuk bermain, bercanda dengan temannya tanpa terkecuali. Berbeda dengan hari dimana pembelajaran dilakukan dengan kelompok 2. 1 dari 15 anak kudapati sangat pendiam dan tanpa jawaban saat ditanya. Dia hanya menggeleng dan menggangguk saja jika memberi respon jawaban. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Lusa akan aku amati lagi anak ini agar aku bisa mengenalinya lebih jauh lagi. Benar, hari itu pun tiba. Masih ingat betul dalam benak dan lubuk hati bagaimana sorot mata nya, dan tempat dia duduk. Meskipun dia memakai masker, bayangan wajahnya sebagai seorang anak pendiam terlihat jelas.
Singkat cerita, suatu hari aku mencoba menghubungi orang tuanya. Memberikan masukan agar si anak mendapatkan pelajaran tambahan, seperti membaca dan menulis. Sejauh aku mengajar saat itu, memang terbukti anak itu mengalami kesulitan dalam membaca, menulis dan berhitung. Orang tuanya berkata bahwa si anak termasuk orang yang introvert. Menurut pendapat C.G Jung penemu Analytical Psychology seseorang yang introvert itu lebih memilih untuk menyendiri. Seseorang yang introvert cenderung pemalu, pendiam dan suka merenung. Benar saja, pendapat ini sangat relevan dengan si anak pendiam tadi. Ini adalah kali pertamaku menemui siswa yang demikian. Mencoba mencari berbagai masukan dari sosok yang sudah banyak makan asam garam dalam mengajar. Mencari tau bagaimana menangani seorang permata yang demikian. Hingga pada akhirnya akupun memutuskan untuk sering melibatkan tugas dalam kerja kelompok. Tujuannya agar dia pun bisa bersosialisasi dengan teman sesamanya.